Jumat, 25 November 2011

Putri Pinang Masak

    Dari sejarahnya, Puteri Nafisah atau Puteri Senuro berasal dari daerah Banten, Jawa Barat dan sebelum sampai ke Desa Senuro bermukim di Empat Ulu Laut tepian Sungai Musi. Berita bermukimnya seorang puteri di ulu laut Palembang yang kecantikannya tiada tara serta tandingannya di seluruh kerajaan Palembang tersebar luas dikalangan anak pembesar kerajaan, serta menjadi pembicaraan hangat para pemuda di seluruh negeri, sehingga banyak yang berlomba ingin mendapatkannya. Berita ini didengar juga oleh Sultan Palembang sehingga timbullah hasrat Sultan untuk membuktikan kebenaran dari cerita tersebut dan melihat dari dekat kecantikan Sang Puteri. Jika memang benar, muncul hasratnya untuk menjadikan Sang Puteri sebagai gundik, penambah gundik yang telah ada di istana.

    Sultan langsung mengutus beberapa pengawal istana untuk menjemput puteri dan membawanya ke istana. Sebelum para pengawal datang, puteri rupanya sudah lebih dulu mengetahuinya. Puteri sangat bersedih hati,  berusaha dan berikhtiar bagaimana caranya menghindari hal tersebut. Bahkan akhirnya Puteri bersumpah lebih baik mati daripada menjadi gundik Sultan. Namun puteri juga sadar bahwa untuk menghindari kekuasaan Sultan dan para pengawalnya adalah suatu upaya yang tidak mungkin.

    Puteri dan keluarganya lalu mencari cara bagaimana mengelabui para pengawal istana yang hendak menjemputnya. Akhirnya munculnya tipu muslihat untuk mengelabui mereka. Sebelum para pengawal istana tiba, Puteri merebus jantung pisang. Setelah dingin, air rebusan jantung pisang itu lalu dibuat mandi oleh Puteri, akibatnya badan Puteri menjadi hitam pekat, kotor dan kelihatan menjijikankan dan kemolekannya menjadi hilang.
Ketika para Pengawal Sultan sampai dirumah Puteri Nafisah, mereka sangat terkejut dengan pemandangan ditemui. Mereka menjadi ragu apakah benar orang yang berdiri dihadapan mereka adalah Puteri Nafisah yang kecantikannya menggemparkan seluruh negeri itu. Timbul keragu-raguan di hati mereka untuk membawa Puteri, namun karena ini adalah perintah Sultan dan tidak boleh dilanggar, maka akhirnya mereka membawa juga Puteri Nafisah ke istana untuk dipersembahkan kehadapan Sultan.

    Sesampai di istana mereka langsung menghadap Sultan berikut Sang Puteri. Begitu melihat sosok yang berdiri dihadapannya, Sultan bertanya kepada para pengawalnya, apakah benar yang mereka bawa ini adalah Puteri Nafisah yang terkenal kecantikannya tersebut. Dengan kalimat tercekat, para pengawal mengiyakan. Lalu Sultan mengulangi pertanyaannya, kali ini ke arah Puteri Nafisah. Mendapat pertanyaan tersebut Puteri Nafisah diam saja.

    Mendapatkan kondisi tersebut, murkalah Sang Sultan dan seketika itu Puteri Nafisah di usir keluar dari istana. Maka dengan bergegas Sang Puteri meninggalkan istana dan kembali kerumahnya. Mengetahui tipu muslihatnya berhasil, Puteri dan keluarganya merasa senang tiada terkira. Seiring dengan perjalanan waktu, mereka pun kemudian hidup tenang dan terlepas dari niat Sang Sultan. Namun, kondisi ini ternyata tidak berjalan semulus yang mereka harapkan. Cerita kecantikan Sang Puteri ternyata masih tetap menjadi buah bibir di kalangan khalayak. Sultan pun penasaran dan mengutus para penyelidik istana untuk menyelidiki kabar yang berhembus tersebut. Para penyelidik bekerja secara diam-diam dan dengan sangat cermat. Setelah melakukan pengamatan beberapa lama, para penyelidik istana akhirnyamendapatkan fakta yang sebenarnya. Mereka juga mengetahui tipu muslihat Sang Puteri ketika menghadap Sultan sebelumnya.

    Mendengar laporan dari para penyelidiknya, Sultan marah bukan kepalang. Diperintahkannya kembali pengawal untuk menjebut Sang Putri secara paksa. Namun sebelum para pengawal istana sampai, para pengikut setia Sang Puteri segera menyampaikan berita tersebut. Mendapati berita itu, Puteri dan keluarganya sangat terkejut dan sedih bukan kepalang. Mereka berunding, usaha apa kali ini yang harus mereka lakukan untuk menghindari niat Sang Sultan. Setelah berunding, akhirnya diputuskan satu-satunya jalan adalah melarikan diri.

    Dengan persiapan seadanya, di suatu malam, bersama dengan dua orang dayang dan dua orang pengawal, berangkatlah Puteri Nafisah dengan menggunakan sebuah rejung (perahu) menuju ke uluhan Sungai Ogan. Berbulan-bulan rombongan Sang Puteri menyusuri sungai dan lebak, sesekali mereka harus menepi dan bersembunyi untuk menghindari kejaran para pengawal istana. Akhirnya sampailah mereka pada sebuah lebak yang cukup luas, yang kelak lebak itu bernama Lebak Meranjat. Di sebuah teluk yang bernama Teluk Lancang, rejung atau perahu mereka dihadapkan ke teluk tersebut, dan menyusuri sebuah sungai (payo) yang arusnya sangat deras. Lalu sampailah mereka di suatu tempat yang mereka perkirakan cukup aman dan tidak mungkin ditemukan oleh para pengawal istana.

    Kedatangan seorang Puteri beserta dayang dan pengawalnya cepat tersebar di telinga penduduk sekitar. Penduduk pun beramai-ramai tinggal dan menetap bersama Sang Puteri. Untuk menghilangkan jejak, Puteri Nafisah kemudian mengganti namanya dengan sebutan Puteri Senuro. Tempat bermukim mereka berkembang menjadi sebuah dusun yang kemudian diberi nama Senuro, sesuai dengan nama Sang Puteri. Dua dayang dan dua pengawal putri ikut hidup dan menetap disana. Mereka berjanji akan menyertai dan menjaga puteri hingga akhir hayatnya.

    Ditempat yang baru ini Sang Puteri menjadi buah bibir para pemuda dan anak-anak orang terpandang di sekitar wilayah tersebut. Sang Puteri juga mempunyai kepandaian dalam hal membuat anyaman. Puteri mengajarkan juga kepandaian kepada penduduk terutama kaum remaja putrinya, terutama anyaman untuk alat-alat memasak yang digunakan sehari-hari. Puteri juga terkenal dengan keahliannya dalam membuat anyaman yang tidak tembus oleh air. Sampai akhirnya kabar kecantikan dan keahliannya ini turut di dengar oleh Sang Sungging.

    Sang Sungging begitu terharu mendengarkan cerita dan pengalaman Putri Nafisah atau Puteri Senuro ini. Ternyata mereka berdua mengalami peristiwa yang serupa. Dari beberapa kali pertemuan, keduanya pun sepakat untuk menjalin tali kasih. Keduanya juga tak segan bercerita mengenai kepandaian masing-masing. Sang Sungging dalam hal bertukang, memahat, melukis dan membuat kerajinan, sementara Puteri Senuro dalam hal membuat anyam-anyaman. Sang Sungging juga mendengar jika Sang Puteri bisa membuat anyaman yang tidak tembus air.

    Suatu hari Sang Sungging ingin dibuatkan masakan gulai kepada Puteri Senuro. Sang Puteri memenuhi permintaan itu. Setelah gulai masak, dibuatlah sebuah bakul dengan tudungnya untuk tempat gulai tersebut dan langsung dikirim kepada Sang Sungging. Mendapat kiriman Dari Puteri Senuro, Sang Sungging langsung membuka bakul tersebut dan alangkah herannya Sang Sungging, karena sedikitpun kua gulai itu tidak menetes keluar. Sang Sungging semakin percaya dan takjub dengan kepandaian Sang Putrti. Setelah habis gulainya dimakan lalu bakul tadi dikembalikan kepada Puteri Senuro. Sebagai balasannya Sang Sungging menyuguh (menyerut) papan dengan umbangnya (hasil suguhan kayu) hampir 9 meter tanpa terputus-putus. Umbang kayu ini kemudian dimasukkan ke dalam bakul tersebut dan dikirim kembali ke Puteri Senuro. Oleh Puteri Senuro umbang tersebut kemudian dianyam menjadi bakul. Pada perjalanannya, bakul inilah yang kemudian menjadi wadah hantaran lauk pauk dari Sang Puteri ke Sang Sungging.

    Kedua sejoli itu saling berlomba menunjukkan keahlian masing-masing sembari menjaga tali percintaannya menuju hari pernikahan. Persiapan demi persiapan pun mereka gencarkan demi menjelang pelaksanaan pernikahan. Sebelum pernikahan terjadi, datang beberapa orang pengawal Puteri Senuro menemui Sang Sungging membawa pesan bahwa Sang Puteri sedang jatuh sakit. Dari hari ke hari sakitnya bertambah parah dan tidak menunjukkan kesembuhan.
Dalam kondisi sakit parah tersebut Puteri Senuro tetap memikirkan kelangsungan hidup kaumnya. Dia masih teringat dengan kisahnya dulu dan tidak mau kaumnya kelak mengalami nasib serupa. Merasa kondisinya sudah tidak bisa diharapkan lagi, sebelum meninggal Sang Puteri berdoa dan bersumpah kepada yang maha kuasa agar kelak anak cucu kaumnya tidak memiliki paras cantik seperti dirinya, karena kecantikan itu akan membawa kesengsaraan.
Setelah melafazkan sumpah tersebut akhirnya Puteri Senuro menghembuskan nafasnya yang terakhir. Puteri wafat dengan meninggalkan empat orang dayang dan dua orang pengawal yang sangat setia termasuk kekasihnya Sang Sungging. Puteri lalu dimakamkan ditempat tersebut. Bagi anak cucu kaumnya, Puteri Senuro atau Pteri Pinang Masak menjadi pelambang kaum wanita yang menjunjung tinggi martabat. Setelah Sang Puteri meninggal, dayang-dayang dan pengawalnya bertekad akan tetep berdiam di tempat itu, dan akan mati berkubur disamping kubur Sang Puteri.

    Makam Sang Puteri beserta dayang dan pengawalnya juga masih bisa dijumpai di desa tersebut. Saya sendiri sudah pernah berkunjung beberapa tahun yang lalu. Waktu itu dipelataran makam tersebut masih tergantung beberapa helai pakaian Sang Puteri. Namun tidak tahu kondisi sekarang, apakah masih demikian atau tidak. Adapun terhadap sumpah Sang Puteri, Sampai saat ini sumpah tersebut masih terngiang di telinga penduduk Desa Senuro. Percaya tidak percaya, jika kita berkunjung ke desa tersebut maka kita akan menemui pemandangan seolah mencerminkan sumpah dari Sang Puteri. Apakah ini sebuah kebetulan? atau memang akibat dari sumpah Sang Puteri.

    Lalu bagaimana dengan Sang Sungging sendiri. Dalam sebuah cerita dikisahkan bahwa keahliannya dalam bertukang termasuk membuat ukiran yang diceritakan oleh penduduk desa dari mulut ke mulut akhirnya sampai juga di telinga Sultan. Sebelumnya, Sultan telah menyadari kekeliruannya dalam menilai Sang Sungging. Setelah mendengarkan penjelasan dari Permaisurinya dan penasehat istana, Sultan berkesimpulan bahwa tetesan tinta yang membentuk tahi lalat di paha kiri atas pada lukisan istrinya murni akibat ketidaksengajaan Sang Sungging.

    Sebagai wujud dari penyesalannya dan sekaligus untuk membuktikan cerita orang tentang keahlian Sang Sungging, Sultan mengirimkan utusannya. Melalui utusannya ini Sultan menyampaikan kekeliruannya dalam menilai Sang Sungging dan juga memesan daun pintu berukir. Singkat cerita, daun pintu tersebut dapat diselesaikan oleh Sang Sungging persis seperti yang dikehendaki oleh Sultan. Dari situ Sultan akhirnya benar-benar percaya dengan berita tersebut.

    Lalu Sultan mengirimkan utusannya kembali, kali ini dalam misi mengajak Sang Sungging untuk kembali ke Istana. Namun karena Sang Sungging merasa sudah betah dan telah memiliki ikatan emosional dengan peduduk setempat, ajakan Sultan tersebut ia tolak dengan penjelasan dan alasan yang halus. Ia tetap pada pendiriannya untuk tinggal dan membangun bersama penduduk setempat sampai akhir hayatnya. Setelah meninggal, Sang Sungging akhirnya dimakamkan di sekitar desa pelariannya.

    Sebagaimana disinggung diatas, dari kedua tokoh ini sangat diyakini memiliki hubungan erat dengan terbentuknya pola mata pencaharian penduduk lokal. Usang Sungging, dengan keahliannya sebagai tukang kayu dan pembuat kerajinan dari tangan telah mewariskan bidang usaha pertukangan/pembuatan rumah panggung (yang sekarang dikenal dengan rumah knock down) dan kerajinan tangan seperti perhiasan pengantin (dari kuningan), pandai besi (pembuatan golok dan pisau dari besi), dan pembuatan perhiasan dari emas dan perak. Sementara Puteri Pinang Masak mewariskan bidang usaha anyam-anyaman yang hingga sekarang ditekuni oleh masyarakat setempat.


Source: Cerita yang didengar secara turun temurun dan dipadukan postingan dari http://sastratutursumateraselatan.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

Rank


guest book